Jakarta — Ketua Umum Pengurus Wilayah Sarekat Demokrasi Indonesia (PW SDI) Gorontalo, Zulfikar S. Daday, mengeluarkan pernyataan keras terkait memburuknya kondisi keamanan di Provinsi Gorontalo. Dalam keterangannya kepada awak media, Zulfikar menegaskan bahwa Kapolda Gorontalo telah gagal total dalam menjalankan mandatnya sebagai penjaga keamanan dan penegak hukum, serta meminta yang bersangkutan untuk mundur dari jabatannya secara terhormat atau segera dicopot oleh pimpinan tertinggi Polri.
“Kapolda Gorontalo bukan hanya tidak menjalankan tugas sesuai konstitusi, tapi kami curiga justru menjadi bagian dari problem itu sendiri. Jika benar ada kongkalikong antara aparat dan pelaku kejahatan, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat,” tegas Zulfikar, Rabu (14/5/2025).
Krisis Keamanan dan Budaya Impunitas
Menurut pemantauan PW SDI Gorontalo, wilayah ini tengah berada dalam situasi darurat hukum. Maraknya tambang ilegal, pembalakan liar, penyalahgunaan narkotika, dan yang paling mengkhawatirkan—peningkatan aksi kekerasan terhadap para aktivis—menunjukkan bahwa negara sedang absen dalam menunaikan peran dasarnya: melindungi warga negara.
Zulfikar menyoroti kasus terkini yang menimpa Koordinator BEM Nusantara Gorontalo, yang diduga menjadi korban penganiayaan oleh orang tak dikenal setelah aktif mengadvokasi isu tambang ilegal di wilayah tersebut. Bagi Zulfikar, ini bukanlah kejadian insidental, melainkan bagian dari pola sistemik pembungkaman ruang sipil yang dibiarkan tumbuh oleh aparat keamanan.
“Kalau aktivis yang hanya menyuarakan keadilan saja bisa dipukul dan dibungkam, sementara pelaku tambang ilegal malah dilindungi, itu tandanya kita sedang hidup dalam logika hukum yang jungkir balik,” ucapnya.
Kolusi Aparat dan Matinya Fungsi Kontrol
Lebih jauh, PW SDI Gorontalo mencium adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum yang diduga menjadi beking para pelaku kejahatan lingkungan dan ekonomi ilegal. Ironisnya, ketika masyarakat sipil berusaha menyuarakan kebenaran, justru media lokal mulai bungkam, dan sejumlah pemberitaan kritis tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan.
“Ini bukan lagi soal kelalaian, tapi kesengajaan. Ketika berita-berita soal dugaan pelanggaran aparat tiba-tiba menghilang dari portal media, kami melihat ini sebagai bentuk sensor tidak resmi, pembungkaman yang jelas melukai demokrasi,” ungkap Zulfikar.
Ia menyebut bahwa fenomena ini menunjukkan tiga bahaya utama:
Meningkatnya budaya impunitas di kalangan aparat
Matinya fungsi pers sebagai pengontrol kekuasaan
Rusaknya kepercayaan publik terhadap institusi hukum
Sinyal Gagalnya Reformasi Kepolisian
Situasi di Gorontalo, menurut Zulfikar, adalah miniatur dari kegagalan reformasi Polri yang selama ini digaungkan. Alih-alih menjadi aparat sipil yang melindungi masyarakat, sebagian personel justru menjelma menjadi aktor kekuasaan bayangan yang lebih loyal pada pemodal, bukan pada hukum dan rakyat.
“Jangan salahkan rakyat kalau mereka akhirnya memilih diam atau memberontak. Negara yang gagal menjamin rasa aman adalah negara yang membuka pintu bagi kekacauan,” ujarnya dengan nada prihatin.
Zulfikar juga mengingatkan Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar tidak ikut menormalisasi kegagalan ini. Ia menyerukan evaluasi menyeluruh dan tindakan konkret, bukan sekadar rotasi jabatan.
Penutup: Jangan Ulangi Dosa Otoritarianisme
Kondisi Gorontalo adalah alarm keras bagi pemerintahan pusat. Jika kekerasan terhadap aktivis, pembiaran terhadap pelaku kejahatan, dan kolusi aparat terus dibiarkan, maka visi Indonesia Maju hanyalah pepesan kosong. Demokrasi lokal akan sekarat, dan publik akan kehilangan kepercayaan total pada hukum.
Prestasi Kapolda Gorontalo tidak bisa diukur dari upacara, seremoni, atau laporan indah di atas kertas. Prestasi sejati tercermin dari hadirnya rasa aman di masyarakat, ruang sipil yang sehat, dan keberanian melawan kejahatan—tak peduli siapa pelakunya.
Jika tidak segera ada tindakan tegas dari Mabes Polri dan Istana, maka Provinsi Gorontalo akan menjadi zona kelabu: tempat di mana hukum tunduk pada uang, dan aktivisme dikubur bersama harapan rakyat kecil.
Indonesia tidak akan pernah benar-benar merdeka jika para penjaga hukum justru menjadi pelanggar hukum.