Mamuju, 23 Juni 2025 — Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi Sulawesi Barat (Badko Sulbar) menyoroti praktik pelayanan publik yang dinilai tidak transparan dan membebani masyarakat kecil, khususnya dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan administrasi kendaraan bermotor. Hal ini disampaikan oleh Fauzan, Wakil Sekretaris Umum (Wasekum) Bidang PTKP Badko HMI Sulbar, dalam pernyataan resmi yang dirilis hari ini.
Menurut Fauzan, ketidaktransparanan dalam pelayanan SIM dan STNK tidak hanya mencederai prinsip keadilan prosedural, tapi juga memperkuat ketimpangan akses terhadap hak dasar warga negara.
“Tanpa transparansi dan akuntabilitas, keadilan prosedural hanya menjadi ilusi. Negara seharusnya menjamin kemudahan akses terhadap layanan dasar seperti SIM dan STNK, bukan malah membiarkannya menjadi ruang subur bagi praktik rente,” ujar Fauzan.
Biaya resmi penerbitan SIM C berdasarkan PP Nomor 76 Tahun 2020 adalah Rp100.000, namun di lapangan, khususnya di wilayah Sulawesi Barat, biaya tersebut melonjak drastis hingga Rp300.000–Rp350.000. Rincian biaya yang tidak dijelaskan secara terbuka, serta ketiadaan kuitansi resmi, menjadi sorotan utama HMI Badko Sulbar.
Fauzan menambahkan, “Warga tidak menuntut pelayanan gratis, mereka hanya ingin proses yang adil, jelas, dan sesuai hukum. Tapi hari ini, bahkan untuk mendapatkan SIM pun mereka harus menanggung beban biaya yang tidak proporsional dan membingungkan.”
Perbandingan dengan kota besar semakin memperjelas disparitas. Di Makassar, total biaya pengurusan SIM C hanya sekitar Rp235.000, dan jika menggunakan layanan daring e-PPSi Polri, biayanya bahkan hanya sekitar Rp137.500. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang lebih transparan dan efisien sebenarnya bisa diterapkan—jika ada kemauan dari penyelenggara.
Tak hanya SIM, biaya administrasi kendaraan di Samsat juga menjadi perhatian. HMI menilai, kantor Samsat masih tertutup soal informasi biaya resmi. Pengurusan balik nama kendaraan yang seharusnya hanya sekitar Rp800.000–Rp900.000, kerap melonjak hingga Rp1.200.000 atau lebih, tanpa bukti pembayaran yang sah.
“Ketika rakyat yang paling ingin taat hukum justru terhambat oleh tarif yang tidak wajar dan prosedur yang rumit, maka negara telah gagal dalam fungsi pelayanannya,” tegas Fauzan.
HMI Badko Sulbar mendesak dilakukan penataan ulang menyeluruh terhadap sistem layanan di seluruh Polres dan Samsat se-Sulawesi Barat. Transparansi biaya, keterbukaan informasi, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan harus dijadikan standar mutlak.
Lebih lanjut, HMI juga meminta agar Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah dijalankan dengan konsisten oleh Bapenda dan instansi terkait. Kantor Samsat wajib menyediakan papan informasi, simulasi tarif, serta layanan yang ramah dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat.
“SIM dan STNK bukan hanya dokumen legal, tapi simbol kehadiran negara dalam menjamin keadilan dan perlindungan warganya. Jangan sampai rakyat kecil terus dikorbankan oleh sistem yang tidak berpihak,” tutup Fauzan.