Demokrasi di Kelurahan Ma’rang Kabupaten Pangkep tampak suram. Musyawarah Koperasi Merah Putih, yang seharusnya menjadi panggung penegakan kedaulatan rakyat, justru diwarnai serangkaian kejanggalan yang memicu pertanyaan besar: Ada apa sebenarnya di balik tirai kekuasaan Lurah Ma’rang?
Musyawarah yang sedianya digelar pada tanggal 22 Mei, tiba-tiba dibatalkan tanpa alasan yang jelas dari pihak kelurahan. Isu intervensi langsung dari Lurah menyeruak, memantik kekecewaan di hati masyarakat. Bagaimana mungkin sebuah forum yang digadang-gadang sebagai wadah demokrasi, bisa kandas begitu saja di tangan penguasa?
Jadwal Ulang Penuh Kejanggalan, Aroma Intervensi Makin Kuat
Musyawarah kemudian dijadwalkan ulang pada Selasa, 27 Mei pukul 13:00 WITA. Namun, alih-alih memberikan kejelasan, pertemuan ini justru memperlihatkan sederet kejanggalan yang tak masuk akal.
Pertama, Dinas Koperasi seolah bungkam. Tidak ada penjelasan terang-benderang mengenai pembentukan koperasi, meninggalkan masyarakat awam terombang-ambing dalam pertanyaan besar. Ada apa dengan pembentukan koperasi?
Kedua, intervensi Lurah terlihat begitu nyata. Dengan arogan, Lurah mengambil alih kendali forum, bertindak di luar batas wewenangnya. Bukankah forum ini milik masyarakat, bukan panggung pribadi penguasa?
Ketiga, jantung demokrasi seolah dicabut paksa. Pembentukan pengurus koperasi tanpa pemilihan, tanpa uji wawasan, adalah tamparan keras bagi asas musyawarah mufakat. Apakah ini yang dinamakan demokrasi, atau hanya sandiwara untuk melanggengkan kepentingan terselubung?
Lurah Ciderai Aturan, Kepercayaan Masyarakat Terkikis
Belum reda kekecewaan masyarakat, Lurah Ma’rang kembali menggelar pertemuan pada Kamis 12 Juni. Setelah pengurus dan pengawas koperasi disumpah dan Surat Keputusan (SK) dibacakan, sebuah keputusan yang seharusnya final, Lurah tiba-tiba mengadakan pertemuan tanpa alasan yang jelas. Tujuannya? Mengganti pengurus yang sudah sah!
Tindakan ini bukan hanya menciderai aturan, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat. Bagaimana mungkin seorang Lurah, yang seharusnya menjadi pelayan dan pengayom, justru mempertontonkan arogansi kekuasaan yang terang-terangan?
Demokrasi di Ujung Tanduk, Lurah Momok Menakutkan Bagi Perangkat Kelurahan?
Kondisi ini memunculkan keprihatinan mendalam, khususnya di kalangan pemuda Kelurahan Ma’rang. Demokrasi, yang menjadi napas perjuangan bernegara, seolah mati suri di tangan penguasa. Lurah, yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, kini justru dituding menjadikan jabatannya sebagai alat kekuasaan, bukan pengabdian.
Wawancara dengan perangkat kelurahan menguatkan dugaan ini. Kehadiran Lurah Ma’rang kini bukan lagi sosok yang dihormati, melainkan “momok menakutkan” bagi perangkat kelurahan. suasana ketakutan menyelimuti, menghalangi suara-suara kritis untuk bangkit.
“Saya pribadi sangat prihatin melihat kondisi ini. Demokrasi bukan hanya sekadar kata, tapi harus diwujudkan dalam tindakan. Lurah seharusnya menjadi teladan, ini justru mencederai aturan yang sudah ditetapkan,” ujar Akbar, salah seorang pemuda di Kelurahan Ma’rang.
Senada dengan Akbar, Anas, seorang pemuda asal Ma’rang, menyampaikan bahwa mereka sebagai pemuda merasa dibungkam. Ia menambahkan bahwa setiap upaya untuk menyuarakan aspirasi seolah dihalangi, dan hal ini jelas bukan gambaran demokrasi yang mereka impikan.
“Kami sebagai pemuda merasa dibungkam. Setiap upaya untuk menyuarakan aspirasi seolah dihalangi. Ini jelas bukan gambaran demokrasi yang kami impikan.”(*)